Redaksi Pewarta.co.id
Selasa, April 22, 2025
Perkecil teks Perbesar teks
![]() |
Pelaku pembuat video parodi wawancara Gubernur Kalteng meminta maaf di kantor PWI Kalteng, Senin (21/4). (Dok. Ist) |
PEWARTA.CO.ID - Media sosial dihebohkan dengan beredarnya video parodi yang menampilkan sosok Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng), Agustiar Sabran.
Video berdurasi hampir tiga menit itu memperlihatkan seorang pemuda yang berperan sebagai wartawan dan memparodikan gaya bicara gubernur dengan nuansa satir.
Video tersebut pertama kali diunggah oleh akun bernama @saif_hola di Instagram dan TikTok pada Minggu (20/4/2025).
Dalam tayangan itu, tampak sang pemuda memegang mikrofon bertuliskan “XXNX” – label yang menyerupai nama situs dewasa – sambil mewawancarai tokoh yang diperankan sebagai Gubernur Kalteng.
Gaya bicara sang "wartawan" yang diisi dengan penggalan kata seperti:
“Kolaborasi mungkin, kolaborasi, kola, borasi,”
dan
“Harus? Harus apa? Tari piring nggak? Oh bekerja!”
menjadi bahan perdebatan publik, memicu reaksi keras dari berbagai kalangan.
PWI Kalteng angkat bicara
Konten satir tersebut segera mendapat respons dari Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kalimantan Tengah, Muhammad Zainal.
Ia mengecam keras isi video itu yang dinilai telah melecehkan profesi wartawan dan juga mencoreng martabat seorang pejabat publik.
“Profesi wartawan bukan untuk melecehkan siapapun, karena profesi ini merupakan profesi yang mulia,” ujar Zainal kepada media, Minggu (20/4).
“Mengkritik boleh, tetapi jangan sampai melecehkan, justru kritik yang membangun, bukan menjatuhkan,” tegasnya.
Menurutnya, video tersebut telah melampaui batas kritik yang wajar dan justru mempermalukan pihak yang diparodikan, dalam hal ini gubernur.
Pembuat video akhirnya minta maaf
Identitas kreator video itu terungkap sebagai Saifullah, seorang pemuda asal Palangka Raya.
Usai kontroversi yang muncul, Saifullah menggelar konferensi pers dan menyampaikan permohonan maaf terbuka di kantor PWI Kalteng, Senin (21/4/2025).
Permintaan maaf tersebut dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab atas viralnya konten yang ia buat.
Meskipun motif awalnya disebut untuk hiburan, publik menilai konten tersebut telah melewati batas norma kesopanan, apalagi menyangkut pejabat daerah.
Insiden ini membuka kembali perdebatan tentang batas antara kebebasan berekspresi dan penghinaan.
Dalam era digital saat ini, ruang untuk menyampaikan pendapat terbuka lebar, namun tetap harus dibarengi dengan tanggung jawab moral dan sosial.
Pihak PWI menekankan pentingnya edukasi bagi masyarakat, khususnya generasi muda, dalam memahami etika jurnalistik dan cara menyampaikan kritik yang konstruktif.
Sementara itu, netizen pun terbelah – ada yang menilai parodi itu sebagai bentuk ekspresi, namun tak sedikit pula yang menganggapnya sebagai bentuk penghinaan secara terang-terangan.