Hammad Hendra
Minggu, Mei 04, 2025
Perkecil teks Perbesar teks
![]() |
Ilustrasi. Musim kemarau tiba, BMKG soroti daerah terpanas di Indonesia dan dampaknya. (Dok. Freepik) |
Jakarta, Pewarta.co.id – Indonesia saat ini tengah memasuki masa transisi dari musim hujan ke musim kemarau, yang dikenal sebagai pancaroba.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperingatkan bahwa kondisi ini menyebabkan peningkatan suhu yang signifikan di sejumlah wilayah.
Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto, menjelaskan bahwa pada masa pancaroba, langit cenderung cerah sejak pagi hingga siang.
Kondisi tersebut memungkinkan radiasi matahari masuk secara maksimal ke permukaan bumi, sehingga suhu pun melonjak.
"Saat ini sedang menerima penyinaran matahari yang sangat intens, karena posisi semu matahari sedang melintasi wilayah ekuatorial dan secara bertahap bergerak ke utara," ujar Guswanto, Sabtu (3/5/2025).
Ia menambahkan, per awal Mei 2025, posisi deklinasi matahari tercatat berada di sekitar 11,2° Lintang Utara.
Posisi ini menjadikan banyak wilayah Indonesia masih dalam jalur paparan matahari secara optimal.
"Kondisi ini memperkuat pemanasan permukaan, terutama saat langit cerah, kelembapan udara rendah, dan pergerakan angin lemah," jelasnya.
BMKG juga mencatat bahwa suhu tinggi umumnya terjadi pada periode April hingga Mei, serta kembali meningkat pada September hingga Oktober.
Sejumlah daerah sudah menunjukkan lonjakan suhu ekstrem dalam beberapa waktu terakhir.
"Di Tanah Merah, Papua Selatan, suhu udara mencapai 38,4°C pada 29 Maret 2025 dan kembali mencatat 37,0°C pada 21 April 2025. Sementara itu, Stasiun Meteorologi Juanda di Jawa Timur mencatat suhu maksimum 37,9°C pada 23 April 2025. Selain itu, suhu di atas 35°C juga tercatat di wilayah lain seperti Lampung dan Jawa Timur pada akhir April," ungkap Guswanto.
Ia menekankan pentingnya kewaspadaan, terutama bagi masyarakat di bagian selatan ekuator seperti Pulau Jawa, Nusa Tenggara, dan sebagian Sumatera.
Wilayah-wilayah ini diketahui lebih cepat menyerap panas dan cenderung kering.
"Sehingga lebih rentan mengalami akumulasi panas ekstrem pada siang hari," ujarnya.
Selain suhu yang melonjak, cuaca panas yang berkepanjangan juga membawa dampak terhadap kesehatan masyarakat.
Guswanto mengingatkan bahwa risiko dehidrasi hingga heat stroke menjadi ancaman serius, terutama bagi anak-anak, lansia, serta para pekerja lapangan.
"Selain itu, suhu tinggi yang berlangsung terus-menerus dapat memicu kekeringan lokal dan menyebabkan berkurangnya ketersediaan air bersih di sejumlah wilayah, yang berdampak pada aktivitas harian dan kesehatan masyarakat," jelasnya.
Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa kondisi kering dan panas dapat memicu kebakaran hutan dan lahan (karhutla), terutama di kawasan yang rawan dan minim hujan dalam waktu dekat.
"Dalam jangka yang lebih luas, kondisi cuaca yang panas dan kering juga meningkatkan potensi terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla), khususnya di daerah-daerah yang rawan dan minim curah hujan dalam beberapa waktu ke depan," pungkasnya.