Mayat Tak Teridentifikasi Menumpuk di Gaza, Uji DNA Terkendala Blokade Israel

2 weeks ago 25

Hammad Hendra

Hammad Hendra

Rabu, April 23, 2025

Perkecil teks Perbesar teks

Mayat Tak Teridentifikasi Menumpuk di Gaza, Uji DNA Terkendala Blokade Israel
Keluarga korban yang meninggal dunia sangat berduka dan tidak bisa menguburkan orang yang mereka cintai dengan layak (Dok. Getty Images)

Gaza, Pewarta.co.id - Pemandangan memilukan terlihat di kamar jenazah Kompleks Medis Al-Shifa, Gaza.

Ratusan jasad dan potongan tubuh manusia yang tidak dikenal memenuhi ruangan, menunggu identifikasi yang tak kunjung dapat dilakukan akibat larangan Israel terhadap masuknya peralatan pengujian DNA.

Blokade ketat yang diberlakukan Israel, didukung oleh Amerika Serikat, telah berlangsung lebih dari 18 bulan dan secara signifikan membatasi akses ke peralatan medis penting.

Akibatnya, proses identifikasi korban jiwa menjadi hampir mustahil dilakukan, sementara keluarga korban tak bisa melakukan pemakaman secara layak.

Situasi ini menjadi bagian dari dampak besar dari serangan Israel yang oleh sejumlah organisasi hak asasi manusia disebut sebagai bentuk genosida.

Blokade ini telah melumpuhkan sistem kesehatan Gaza, membuat berbagai rumah sakit tidak mampu berfungsi secara optimal, termasuk dalam menangani identifikasi jenazah.

Di tengah keterbatasan ini, dokter forensik Imad Shehadeh terus bekerja di kamar mayat yang penuh sesak dengan tubuh membusuk dan sisa-sisa manusia.

Ia mengandalkan peralatan seadanya untuk menjalankan tugas yang seharusnya dibantu oleh teknologi canggih.

"Kami kewalahan dengan semakin banyaknya mayat yang membusuk dan tidak dapat diidentifikasi," kata Shehadeh mengutip Anadolu Arabic. "Kami tidak memiliki peralatan pengujian DNA, dan Israel telah memblokir semua upaya untuk mendatangkannya. Tanpa peralatan itu, hampir mustahil untuk mengidentifikasi sebagian besar orang-orang ini."

Karena tak tersedia teknologi genetika, tim forensik harus bergantung pada metode konvensional.

Mereka mencoba mengenali korban melalui barang-barang pribadi seperti cincin atau pakaian, serta pemeriksaan fisik seperti gigi atau bentuk tulang.

Namun, metode ini jauh dari memadai, terutama ketika banyak jenazah telah hangus terbakar atau rusak parah.

"Kadang-kadang kita dapat memperkirakan jenis kelamin atau usia dengan memeriksa tengkorak atau tulang," kata Shehadeh, sambil memegang tengkorak di antara kedua tangannya. "Namun tanpa DNA, itu tidak cukup. Pengujian genetik adalah satu-satunya cara yang dapat diandalkan."

Saat ini, diperkirakan ada sekitar 450 jasad di kamar mayat tersebut, termasuk jenazah yang sempat dikubur kemudian digali kembali, dan yang baru ditemukan di bawah reruntuhan bangunan.

Hanya segelintir sekitar sepuluh jasad yang berhasil diidentifikasi sejauh ini.

Penguburan Darurat dan Keterbatasan Alat

Kondisi semakin memburuk dengan serangan udara Israel yang hampir tak henti-henti.

Lahan pemakaman resmi tak lagi mencukupi, mendorong keluarga korban untuk menguburkan jenazah di halaman rumah sakit, taman, atau bahkan di pinggir jalan.

Banyak yang dilakukan tanpa batu nisan ataupun catatan resmi.

Kementerian Kesehatan Gaza menyatakan masih banyak korban yang tertimbun di bawah puing-puing bangunan, beberapa telah terkubur selama berbulan-bulan.

Upaya evakuasi seringkali terhambat oleh keterbatasan bahan bakar dan alat berat, serta risiko serangan lanjutan.

"Kami masih menemukan mayat-mayat dari reruntuhan yang dibom beberapa bulan lalu," kata Shehadeh. "Dalam beberapa kasus, yang tersisa hanyalah tulang. Dan kami masih belum bisa mengidentifikasi mereka."

Menurut Kantor Media Pemerintah di Gaza, lebih dari 11.000 warga masih dinyatakan hilang sejak konflik memanas.

Banyak dari mereka diyakini telah tewas namun belum ditemukan.

Data hingga April menunjukkan lebih dari 168.000 warga Palestina menjadi korban luka maupun meninggal, mayoritas adalah perempuan dan anak-anak.

Hampir seluruh fasilitas medis di Gaza kini rusak atau hancur, sementara rumah sakit yang masih bertahan dipenuhi pasien dan kekurangan persediaan.

Kamar-kamar mayat bekerja dalam kondisi darurat, tanpa alat pendingin, perlengkapan forensik, atau ruang penyimpanan memadai.

Lebih parah lagi, pembatasan yang diterapkan Israel juga menghalangi masuknya tenaga medis dan ahli forensik dari luar negeri, yang seharusnya bisa membantu mengatasi krisis ini.

"Mayat-mayat ini punya keluarga. Mereka berhak diberi nama, kuburan, dan perpisahan," kata Shehadeh. "Namun, kami tidak dapat melakukan apa pun tanpa alat-alat ini. Kami meminta dunia untuk membantu kami memberikan martabat kepada mereka yang meninggal."

Read Entire Article
Bekasi ekspress| | | |