Ngabuburit di Kota vs Desa: Mana yang Lebih Asyik?

2 months ago 61

Pewarta Network

Pewarta Network

Jumat, Maret 07, 2025

Perkecil teks Perbesar teks

 Mana yang Lebih Asyik?
Ilustrasi - Ngabuburit di kota yang asyik dengan bersepeda. (Dok. Google Image).

PEWARTA.CO.ID - Ngabuburit, istilah yang berasal dari bahasa Sunda yang berarti "menunggu waktu sore", telah menjadi tradisi yang melekat di masyarakat Indonesia selama bulan Ramadan. Kegiatan ini biasanya diisi dengan berbagai aktivitas untuk mengisi waktu menjelang berbuka puasa. Namun, pengalaman ngabuburit dapat berbeda antara di kota dan di desa.

Meskipun konsep ngabuburit sama, cara masyarakat menikmati waktu menjelang berbuka bisa sangat berbeda tergantung pada lokasi mereka. Masyarakat perkotaan memiliki akses ke berbagai fasilitas modern dan hiburan, sementara masyarakat pedesaan lebih dekat dengan alam dan kehidupan tradisional.

Perbedaan ini menciptakan pengalaman ngabuburit yang unik di masing-masing tempat, baik di kota maupun di desa.

1. Suasana dan lingkungan

Di kota-kota besar, ngabuburit seringkali dilakukan di pusat-pusat perbelanjaan, taman kota, atau kafe-kafe modern. Suasana perkotaan yang sibuk dengan gedung-gedung tinggi dan hiruk-pikuk kendaraan memberikan nuansa modern dan dinamis. Namun, kebisingan dan keramaian kota kadang-kadang dapat mengurangi kenyamanan saat ngabuburit.

Sebaliknya, di desa, ngabuburit biasanya dilakukan di tempat-tempat yang lebih alami seperti sawah, kebun, atau pinggir sungai. Suasana pedesaan yang tenang dengan udara segar dan pemandangan alam yang asri memberikan ketenangan tersendiri. Ketiadaan polusi suara dan udara membuat pengalaman ngabuburit di desa terasa lebih santai dan menenangkan.

2. Aktivitas yang dilakukan

Di kota, pilihan aktivitas untuk ngabuburit sangat beragam. Masyarakat dapat mengunjungi pusat perbelanjaan untuk berbelanja atau sekadar window shopping, menonton film di bioskop, atau menikmati berbagai kuliner di restoran dan kafe. Selain itu, banyak event atau festival yang diadakan khusus selama bulan Ramadan, seperti bazar atau konser musik religi.

Di desa, aktivitas ngabuburit cenderung lebih sederhana dan tradisional. Masyarakat seringkali berkumpul di balai desa atau lapangan untuk bermain permainan tradisional, seperti sepak bola, kasti, atau egrang. Selain itu, kegiatan seperti tadarus Al-Qur'an bersama, pengajian, atau gotong royong membersihkan masjid juga menjadi pilihan aktivitas ngabuburit di desa.

3. Kuliner dan takjil

Salah satu hal yang paling dinantikan saat ngabuburit adalah berburu takjil atau makanan untuk berbuka puasa. Di kota, pilihan takjil sangat beragam, mulai dari makanan tradisional hingga internasional. Banyak pedagang kaki lima atau food truck yang menjajakan berbagai jenis makanan dan minuman, seperti kolak, es buah, gorengan, hingga sushi atau burger.

Di desa, takjil yang disajikan biasanya lebih tradisional dan khas daerah setempat. Misalnya, di Desa Balokang, Kota Banjar, terdapat pasar dadakan yang hanya muncul selama bulan Ramadan. Pasar ini menjajakan aneka ragam makanan dan minuman takjil dengan rasa enak dan harga terjangkau. Tradisi ini telah berlangsung selama sepuluh tahun dan menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat setempat.

4. Interaksi sosial

Ngabuburit di kota seringkali dilakukan bersama teman atau keluarga dekat. Meskipun banyak orang berkumpul di satu tempat, interaksi sosial cenderung terbatas pada kelompok masing-masing. Selain itu, penggunaan gadget dan media sosial yang tinggi di kota dapat mengurangi kualitas interaksi antar individu.

Di desa, interaksi sosial saat ngabuburit cenderung lebih erat dan melibatkan banyak anggota masyarakat. Kegiatan seperti gotong royong, pengajian bersama, atau bermain permainan tradisional memungkinkan terjalinnya hubungan yang lebih akrab antar warga. Kebersamaan dan kekeluargaan sangat terasa dalam setiap aktivitas ngabuburit di desa.

5. Aksesibilitas dan fasilitas

Kota menawarkan berbagai fasilitas modern yang memudahkan masyarakat dalam melakukan aktivitas ngabuburit. Transportasi umum yang memadai, pusat perbelanjaan yang lengkap, serta berbagai tempat hiburan membuat masyarakat kota memiliki banyak pilihan untuk menghabiskan waktu menjelang berbuka.

Di sisi lain, desa mungkin memiliki keterbatasan dalam hal fasilitas modern. Namun, keterbatasan ini justru mendorong masyarakat untuk lebih kreatif dalam menciptakan aktivitas ngabuburit yang unik dan menarik. Misalnya, mengadakan pasar dadakan atau festival kuliner lokal yang melibatkan seluruh warga desa.

6. Nilai budaya dan tradisi

Ngabuburit di desa cenderung lebih kental dengan nilai-nilai budaya dan tradisi lokal. Kegiatan seperti pertunjukan seni tradisional, permainan rakyat, atau festival adat seringkali diadakan untuk meramaikan suasana Ramadan. Hal ini tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga sebagai upaya melestarikan budaya dan tradisi yang ada.

Sementara itu, di kota, pengaruh budaya global lebih dominan. Meskipun masih ada upaya untuk mempertahankan tradisi lokal, namun arus modernisasi dan globalisasi membuat beberapa tradisi mulai tergerus. Kegiatan ngabuburit di kota lebih banyak dipengaruhi oleh tren dan budaya populer yang sedang berkembang.

7. Biaya dan ekonomi

Ngabuburit di kota cenderung memerlukan biaya yang lebih besar. Harga makanan, minuman, atau tiket masuk ke tempat hiburan biasanya lebih mahal dibandingkan di desa. Selain itu, gaya hidup perkotaan yang konsumtif dapat membuat pengeluaran saat ngabuburit menjadi lebih tinggi.

Sebaliknya, ngabuburit di desa biasanya lebih hemat. Banyak aktivitas yang tidak memerlukan biaya besar, seperti berkumpul di balai desa,

Read Entire Article
Bekasi ekspress| | | |